Lelaki yang Merusak Lalu Meratap di Esok Hari

Ardhias Nauvaly
4 min readJan 18, 2023

--

Diterbitkan pertama kali sebagai ulasan Program Labuhan oleh Paparisa Ambon Bergerak pada Biennale Jogja XVI 2021

Diambil dari tangkap-layar “Hena Masa Waya” di kanal Youtube Biennale Jogja

Papan lukis dibentang. Di pesisir. Isi lukisannya alam pesisir. Seakan menghubungkan kanan-kirinya yang merupakan lanskap serupa. Amboi, semilir! Realitanya? Bukan, itu imaji rakyat pesisir Ambon belaka.

Kemudian palu bertalu, deru mesin proyek merongrong. Lelaki berhelm pekerja, telanjang dada dia laburkan cat. Melukiskan tiang-tiang, beton reklamasi Teluk Ambon. Juga jembatan dan gedung-gedung.

Di tengah asikya lelaki proyek melabur cat, sosok perempuan merangsek tayangan. Mulanya menari. Hentakan kakinya tegas. Matanya, membelalak ke depan. Pada satu titik, perempuan penari mulai merecoki lelaki proyek. Puncaknya, palet cat direbut. Lukisan pesisir yang direklamasi lantas diacak-acak. Disiram cat, sana sini.

Sebentar, kenapa pula perlu disebut “lelaki” sebagai kulinya dan “perempuan” sebagai lawan proyek invasif? Kebetulankah? Atau ada wacana yang membuat penindasan dan agresi, seperti reklamasi, berdiri di atas identitas gender?

Mengacu Shiva dan Mies pada Fitri & Akbar (2017), perempuan sebagai kelas merupakan korban pertama dari kerusakan alam. Demikianlah ekofeminisme bersabda. Sistem ekonomi-politik yang bekerja adalah kapitalis-patriarkal. Kapitalisme mengizinkan pembangunan demi mitos pertumbuhan ekonomi meski kerusakan ekologi jadi barternya.

Sementara ruang hidup rusak, urusan rumah termasuk mengasuh anak yang jatuh ke perempuan di sistem patriarkal makin runyam dibuatnya. Pangan tidak terjamin. Udara kotor, keluarga sakit-sakitan. Siapa yang menanggung? Perempuan!

Sudah tertindas, lantas apa? Pada sistem patriarkal, perempuan paripurna adalah mereka yang tunduk dan nrimo. Namun pada berbagai kesempatan, perempuan menunjukkan bahwa dunia yang lebih baik itu bisa diupayakan. Meninggalkan ruang domestiknya yang seolah “terberi” oleh patriarki, mereka bangkit melawan.

Ibu-ibu Kendeng, misalnya. Mengorganisasi kaum tani untuk melawan pabrik semen yang bakal merusak sistem pengairan alami. Sebuah malapetaka bagi petani bila air sudah lesap. Sukinah, warga Kendeng, bilang bahwa saat menggelar demonstrasi, perempuan adalah garda terdepan. Agar aparat dilemma saat hendak berlaku kasar, ucapnya. Ini siasat. Ini perlawanan.

Atau para Madres di Argentina, ibu para pemuda yang dibikin mampus junta militer. Mereka berprotes saban kamis sore sejak 1978 di Plaza de Mayo depan Pink House (Istana Kepresidenan Argentina). Satu hal yang dituntut: kepastian nasib. Di mana anaknya? Di suatu tempat atau sudah di surga sana. Bukan sekadar meratap, mereka bangkit melawan.

Spirit perlawanan itu pula yang hidup pada pentas Hena Masa Waya garapan Paparisa Ambon Bergerak. Pentas ini adalah salah satu dari Program Labuhan dari Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Inspirasinya didapat dari lagu tradisi dengan judul serupa. Berkisah tentang alam Maluku yang diterjang banjir besar sebab murka dewata. Kemudian syair ini diadaptasi menjadi rangkaian aktivasi kesenian. Mulai dari nyanyian, live painting, tarian, hingga deklamasi puisi.

Perempuan penari pada sesi live painting, bukanlah perusuh. Lagi pula, siapa yang berhak menilai mana perusuh dan mana yang dirusuhi? Bila bukan kekuasaan, siapa lagi? Dan siapa yang berkuasa? Bukan orang per orang, penguasanya adalah sistem kapitalis-patriarkal. Yang dikuasai: perempuan. Maka logis saja bila perempuan, disimbolkan oleh penari, bangkit melawan.

Lalu pada penggalan puisinya, Marten Reasoa sang deklamator, mengisahkan bait-bait reproduksi.

Di tiap bulan Maret / dusun kita berbunga, penuh buah //

Kita panen sampai puas /

Wangi dari pohon, turun ke hidung /

Lalu kita berciuman //

Dari ciuman / yang paling wangi itu /

Di perut Ibu / lahirlah buah harapan //

Buah-buah adalah doa-doa

Kita tahu bahwa aktor utama dalam bait sajak ini adalah perempuan. Romantisasi kisah reproduksi. Bahwa mengandung adalah berdoa. Namun apakah masa depan selalu merupa sebagaimana harapan? Bahwa lewat anak-anak lah masa depan dititipkan. Di Teluk Ambon, jawabannya adalah tidak.

Lompat sedikit, masuk ke bait-bait di mana romantisme reproduksi menemui akhir kalimatnya. Dia bilang, musim hanya datang, lalu tiba-tiba, hilang. Romantisme pernah ada namun seketika lenyap.

Nyatanya / hutan-hutan diubah jadi kota /

Hutan disulap / jadi bandara //

Buah-buah berubah sampah //

Hanya ada senyum disana /

Tapi kita tidak bahagia /

Anak sebagai buah, berubah jadi sampah. Bukan karena kurang usaha, malas belajar. Ini sistemik. Kapitalisme yang mengizinkan perusakan lingkungan atas nama pertumbuhan ekonomi, tutup mata. Masa bodoh masa depan. Hanya ada hari ini yang harus dihidupi. Hanya ada kantung laki-laki dan korporasi yang mesti dipenuhi.

Lalu ketika masa-masa tenggelamnya negeri, seperti yang dinubuatkan Hena Masa Waya, semua hanya meratap. Sementara perempuan bangkit melawan, laki-laki sebagai simbol agresor hanya bisa mendendangkan syair-syair melankolik. Mengingat masa lalu, seandainya tidak begitu. Seperti yang ditampilkan Marten lewat nyanyian Hena Masa Waya di awal tayangan.

Menapaki pantai bertabur sampah. Menyusuri lumpur buah reklamasi. Dia dendangkan syair kematian. Syair tentang peradaban yang dibinasakan berkat ulahnya sendiri. Maka kian jelas, bahwa papan lukis yang asri adalah imaji dan reklamasi adalah realita yang (terpaksa) dihidupi.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Ardhias Nauvaly
Ardhias Nauvaly

Written by Ardhias Nauvaly

Siapa bilang menulis itu susah? Memang susah, sih.

No responses yet

Write a response